Menyongsong Kedaulatan Desa

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin

Orang-orang desa Soga terkejut ketika siaran televisi menyebut dana Rp1 milyar untuk desa. Para petani kakao, yang hampir putus asa menghadapi tanaman kakaonya yang sekarat, bersemangat mengharap bantuan. Tapi, sang kepala desa, Bidirman Aziz menganggap isu Rp1 milyar itu sekadar isu dangkal.
Desa Soga terletak di kecamatan Marioriwawo, kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan. Di sana kebanyakan warga menjadi buruh tani. Mereka berbondong-bondong menjadi buruh perkebunan hingga ke Malaysia. Akibat kebijakan revolusi hijau Orde Baru, mereka terjebak sistem pertanian monokultur, ketergantungan pada pupuk kimia dan kejar surplus. Ketika tanaman kakaonya sekarat, mereka tak punya andalan lain. Jangankan padi, sayur mayur saja mesti dibeli. Sementara lahan-lahan terlanjur rusak, unsur hara musnah. Hama semakin kebal.
Kepala Desa Bidirman Aziz tak patah arang. Dia ingin membangun kembali kemandirian warga desa. Beberapa kali dia kirim warga untuk belajar bertani, supaya bayang-bayang kejayaan kakao bisa tergantikan.
Bersama para penggiat Sekolah Rakyat Petani Payo-Payo, warga desa belajar bertani organik sambil berorganisasi. Desas desus uang satu milyar, mulai mereka amati melalu Undang-Undang Desa yang barus saja disahkan di parlemen.
“Kami sengaja meminta kedatangan Yando Zakaria untuk mengklarifikasi isu uang satu milyar untuk desa,” ujar Karno B.Batiran, direktur Sekolah Rakyat Petani Payo-Payo.
R.Yando Zakaria adalah mantan staf ahli penyusunan Rancangan Undang-Undang Desa di Dewan Perwakilan Rakyat. Agustus lalu ia diminta oleh Sekolah Rakyat Petani Payo-Payo untuk menjelaskan isi Undang-Undang Desa di beberapa des di Sulawesi Selatan.
“Undang-Undang Desa ini ingin mengembalikan hak istimewa desa yang sudah melekat sebelum republik ini terbentuk, sebagaimana diakui oleh para perumus kemerdekaa” kata Yando.
***
Rupanya, sejak mula republik ini dibentuk, para perumus kemerdekaan sudah menempatkan desa sebagai sebuah entitas khusus yang memiliki hak asal usul, hak istimewa yang melekat. Desa sama tinggi dengan kerajaan dan kesultanan. Desa yang dimaksud oleh para perumus konstitusi adalah semacam, ‘negeri’ di Minangkabau, atau ‘dusun’ di Palembang, ‘desa’ di Jawa dan Bali dan Sulawesi. Di Kalimantan ada yang menyebutnya ‘manuah’
Badan Penyelenggara Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI yang merumuskannya ketika itu menyamakan hak istimewa itu dengan hak otonomi.
Aturan mengenai desa silih berganti dibikin untuk mencari cara memperlakukan desa. Mulai dari Undang-Undang No. 19 tahun 1965 mengenai Desa Praja. Di sana, desa dipandang sebagai sebuah kesatuan masyarakat hukum. Desa memiliki hak adat istiadat dan asal usul yang bentuknya tidak seragam.
Menurut Yando, hak asal usul yang diakui dalam konstitusi mencakup tiga hal.
Pertama, desa sebagai sebuah sistem sosial budaya. Artinya negara mengakui bahwa di kampung tersebut ada sejumlah orang yang hidup bersama, saling berhubungan dan memiliki aturan.
Kedua, desa sebagai sistem sosial politik. Negara mengakui sistem kekuasaan yang sudah terbentuk di desa. Ada yang menjadi pemimpinnya, ada tokoh adat dan aturan-aturannya. Para pakar hukum adat menyebutnya ‘republik kecil’. Misalnya di Minangkabau, lembaga eksekutifnya bernama ‘wali nagari’, lembaga yudikatifnya, ‘krapatan adat nagari’, sedangkan legislatifnya ‘perwakilan adat nagari’.
Ketiga, desa sebagai sebuah sistem ekonomi. Negara harus mengakui dan menghormati harta kekayaan desa, atau ulayat, paling tidak dalam bentuk tanah.
Orde Baru memberangus undang-undang itu, bersamaan dengan pemusnaan semua unsur yang terkait dengan paham komunis. Undang-undang itu telah memberi kekuasaan kepada rakyat di desa, karena mengancam kekuasaan Orde Baru. Kekuatan rakyat adalah satu-satunya musuh Orde Baru. Melalui Undang-Undang No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, rezim itu mencegah kekuatan rakyat melalui penyeragaman kebijakan di bawah kontrol militer.
Di tangan Orde Baru, desa hanya sekedar satuan administratif dalam tatanan pemerintahan. Corak dan strukturnya baku, seragam di semua tempat. Dia juga terpisah dari asal usul dan adat istiadat dan tak punya hak otonomi.
Apa dampak dari penghilangan pengakuan asal usul dan adat istiadat itu?
Dari aspek sosial budaya, negara tak mengakui sistem budaya yang berlaku di masyarakat Indonesia. Misalkan budaya sasi di Maluku, atau budaya kaharingan di Kalimantan. Orde Baru juga tak mengakui agama yang sudah ada jauh sebelum negara Indonesia terbentuk. Hanya lima agama yang dianggap legal, selebihnya dianggap tidak legal.
Setelah pecah reformasi tahun 1998, undang-undang buatan Orde Baru itu dianggap melanggar konstitusi.
Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang baru ini ada beberapa pokok perubahan.
Undang-Undang ini akan mengakui desa secara beragam. Tidak ada lagi penyeragaman pengelolaan desa. Ada dua bentuk desa yang bisa dipilih. Desa atau Desa Adat. Keduanya sama-sama mempunyai hak dan kewenangan untuk mengurus pemerintahan dan pembangunannya sendiri. Bedanya, desa terbentuk berdasarkan ukuran-ukuran rasional administratif. Misalkan penduduk minimal 3.000 jiwa atau 600 Kepala Keluarga.
Sedangkan desa adat, terbentuk berdasarkan hak asal-usul. Dia merupakan sebuah persekutuan atau komunitas kelompok yang sudah ada sejak lama, memiliki nilai sejarah, dan tidak bergantung standard administrasi.
Oleh karena itu, undang-undang ini memuat perubahan bentuk kewenangan desa atau desa adat. Otonomi desa bukan lagi bagian dari otonomi daerah. Perubahan ini didasari oleh perubahan cara berpikir tentang hubungan desa dan negara.
“Karena itu banyak yang heran, mengapa undang-undang desa sudah bisa ditetapkan sementara undang-undang pemerintahan daerah belum?” ujar Yando, sambil memastikan landasan hukumnya bukan lagi bersifat ‘adik-kakak’ melainkan sendiri-sendiri.
Segala sesuatu yang bisa diselesaikan oleh desa, tidak boleh dikerjakan oleh pemerintahan yang lebih tinggi seperti kabupaten atau provinsi.
Untuk mendukung kewenangan desa, harus ada konsolidasi keuangan dan aset desa yang diatur dalam undang-undang.
“Sebenarnya hari ini tanpa undang-undang desa pun, anggaran yang masuk ke desa sudah ada hingga Rp 1,2 milyar. Hanya saja di salurkan melalui Dinas Pekerjaan Umum, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat atau PNPM dan lain-lain,” ujar Yando.
“Bedanya, dulu ‘bosnya’ banyak, sementara sekarang hanya Kepala Desa. Risikonya, kalau dulu yang ditangkap kepala-kepala dinas, sekarang mungkin kepala desa,” kata dia sambil memperingatkan untuk tidak main-main dengan anggaran karena keuangan desa akan mengalami perubahan minimal tiga kali lipat dari sekarang.
Perencanaan pembangunan desa akan terintegrasi dengan pembangunan dari pemerintah di atasnya. Jadi bakal ada dua pembangunan di desa. Desa Membangun yang direncanakan oleh warga desa, dan Pembangunan Desa yang dilakukan oleh pemerintah di atasnya.
“Jadi saat ini, keadaan desa sangat tergantung kepada masyarakat desa itu sendiri. Apakah ancaman-ancaman ini akan menghalangi tercapainya tujuan atau masyarakat mampu mengoptimalisasi peluang-peluang yang ada untuk kepentingan pembangunan di desa?” kata dia.
Dalam konteks kelembagaan, di desa terdapat kepala desa, aparat desa, dan Badan Perwakilan Desa. Ada juga mekanisme pengambilan keputusan tertinggi atau musyawarah desa untuk hal teknis-strategis, yang diikuti oleh kepala dan aparat desa serta perwakilan dari kelompok-kelompok masyarakat. Melalui musyawarah itu, masyarakat bisa terlibat aktif menentukan dan merencanakan program desa, termasuk hak mengetahui perencanaan keuangan desa.
“Jika masyarakat tak memahaminya, perubahan dalam undang-undang ini, bisa jadi undang-undang ini tempat pestanya para elit,” kata Yando. Dia juga tak memungkiri pada praktiknya kemungkinan bisa marak politik uang, terutama pada proses pemilihan kepala desa.
Kenapa masa jabatan kepala desa lebih lama, dari sebelumnya dua tahun, menjadi tiga tahun?
Menurut dia, berkarir di desa bisa jadi daya tarik yang baru, karena desa punya banyak potensi sumber daya yang dapat dikembangkan. Desa juga punya modal sendiri. Jadi dengan perpanjangan masa jabatan kepala desa, orang desa yang potensial bisa memiliki waktu lebih panjang untuk membangun desanya.
Kepala desa juga tidak diwajibkan berpendidikan tinggi. Lulusan Sekolah Menengah Pertama, bisa jadi kepala desa. Sedangkan perangkat desa memang harus lulusan Sekolah Menengah Atas karena akan menjalankan tugas-tugas sebagai pegawai tetap dan mendapat pensiun.
“Kades itu urusan kepemimpinan, dan soal kepemimpinan tidak melulu soal pendidikan,” kata Yando.
Setelah mendapat penjelasan itu, pekan lalu, 11 Oktober, Bidirman dan empat kepala desa lain, bersama para aktivis Sekolah Rakyat Petani Payo-Payo terbang ke Yogyakarta untuk belajar menyusun anggaran dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa di kediaman Yando Zakaria.
“Saya tidak takut masuk penjara gara-gara mengelola uang ini, selama saya di jalan yang lurus. Saya justru takut kalau pengelolaannya tidak memenuhi kebutuhan warga desa,” ujar Bidirman Aziz. []

Oleh Mulyani Hasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *