Ketika Tujuan Bertani Berputar Arah

Share on facebook
Share on twitter
Share on linkedin

Jika Anda menginjakkan kaki di Gunung Perak, hamparan sawah berundak-undak akan Anda lihat sejauh mata memandang. Tanaman padi tersusun berbaris di bawah kabut dingin. Sebagian besar warga di sana bertani padi, setidaknya hingga awal dekade 70an. Desakan industrialisasi pertanian pada dekade 70an, memaksa petani mengubah pola tanamnya, dari subsiten ke pertanian komersil.

Penerapan paradigma modernisasi yang mengutamakan prinsip efisiensi dalam pembangunan pertanian menyebabkan terjadinya perubahan struktur sosial masyarakat petani di pedesaan. Berbagai proses pelaksanaan pembangunan, terutama industrialisasi, dalam jangka menengah dan panjang menghasilkan petani sebagai penyedia kebutuhan pasar (supplier) sehingga mereka akan berlomba-lomba menghasilkan produk pertanian dalam jumlah yang banyak demi memenuhi kebutuhan pasar untuk memperoleh keuntungan yang besar.

Dampaknya, terjadilah fluktuasi harga dimana ketika ketersediaan produk pertanian banyak maka harga jual akan rendah dan kelangkaan terhadap beberapa produk pertanian yang lain akan terjadi.

Industrialisasi di bidang pertanian di Indonesia dimulai pada tahun 1970an ketika pemerintah Orde Baru meluncurkan program pembangunan pertanian melalui program Revolusi Hijau. Kemudian pada tahun 1979 pemerintah meluncurkan program Intensifikasi Khusus, yang meningkatkan efektifitas penerapan teknologi Pasca Usaha Tani melalui kelompok-kelompok tani. Banyak  kebijakan pemerintah yang dibuat awalnya bertujuan untuk meningkatkan produktivitas sektor pertanian demi menciptakan usaha agribisnis.

Tapi, kebijakan pemerintah tersebut telah membuat para petani ketergantungan terhadap input kimia, membeli bibit, dan bersaing antarmereka.

Di Desa Gunung Perak yang terletak di Sinjai Barat, Sulawesi Selatan sejumlah petani beralih dari bertani padi ke sayuran. Karena padi kurang menguntungkan, sedangkan sayuran bisa untung banyak.

Salah seorang petani sayur bisa  memperoleh keuntungan bersih sebesar Rp77 juta rupiah per satu musim panen. Masa tanam hingga panen sayur hanya butuh waktu 4 bulan. Sedangkan dari tanaman padinya ia hanya menghasilkan 10 ikat padi dari 21 liter benih padi. Padahal dulu dapat menghasilkan 90-100 ikat padi. Menurunnya produktivitas padi disebabkan karena munculnya berbagai jenis hama akibat pemakaian pupuk kimia sejak program Revolusi Hijau.

Komoditas sayur mayur mulai masuk ke desa ini sejak 1990.  Alih fungsi lahan dari sawah menjadi kebu memang baru dilakukan oleh beberapa orang namun keuntungan besarmembuat petani lain tergiur. Masalahnya, komoditas seperti sayuran rawan mengalami fluktuasi harga. Sedangkan petani tak berdaya menentukan menentukan harga tanamannya, ketika harga pasaran melorot.

“Beli saja beras, kan banyak uang hasil jual sayur,” kata seorang petani muda.

Perubahan sawah menjadi kebun dapat dilihat di daerah Kanreapia, tak jauh dari Gunung Perak.

Dan tentu saja jika semua petani di seluruh Indonesia berfikir demikian, impor beras akan meningkat. Keuntungan petani dari komoditas sayuran sebanding dengan kerugian yang menyertainya karena fluktuasi harga yang terjadi terkadang mengakibatkan kerugian besar sampai menimbulkan utang.

Seperti yang dialami oleh salah seorang petani yang mengganti kebun daun bawangnya dengan tanaman tomat di pada Oktober 2014. Melihat tingginya harga tomat waktu itu Rp8.000 per kilogram, tetapi ketika panen di bulan Februari, harga tomat jatuh ke harga Rp6.000 per kilogram, sementara biaya produksi tidak berkurang malah bertambah.

Oleh Nisa Ihsani Said, peserta Pelatihan Penelitian Desa (PPD) Sekolah Rakyat Petani Payo-Payo.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *