Polemik mengenai penempatan Direktorat Pemberdayaan Masyarakat Desa akhirnya menemukan jalan tengah melalui Peraturan Presiden mengenai Struktur dan Tata Kelola Organisasi Kementerian di dua kementerian yang memuat tentang pembagian tugas dan kerja dalam urusan perdesaan. Sejak semula direktorat tersebut menjadi perdebatan apakah masuk dalam Kementerian Dalam Negeri atau Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
Pertama, Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2015 tentang Kementerian Dalam Negeri. Dalam perpres ini, Kementerian Dalam Negeri masih memiliki peranan dalam urusan perdesaan melalui Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa. Dalam hal ini, Ditjen ini memiliki kewenangan dan tugas; penataan desa, administrasi pemerintahan desa, keuangan dan aset desa, produk hukum desa, pemilihan Kepala Desa, perangkat desa, penugasan urusan pemerintahan, kelembagaan desa, kerjasama pemerintahan, dan evaluasi perkembangan desa.
Kedua, Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2015 tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Dalam perpres ini, kewenangan dan tugas dalam urusan perdesaan melalui dua Direktorat Jenderal. Pelayanan sosial dasar, pengembangan ekonomi usaha desa, pendayagunaan sumber daya alam dan teknologi tepat guna, pembangunan sarana prasarana desa, dan pemberdayaan masyarakat desa akan ditangani oleh Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa. Sementara Direktorat Jenderal Pembangunan Kawasan Perdesaan mengurusi bagian perencanaan pembangunan kawasan perdesaan, pembangunan sarana prasarana kawasan perdesaan, serta pembangunan ekonomi kawasan perdesaan.
Pembagian peran dalam mengurusi perdesaan menimbulkan pertanyaan bagi kita. Apakah mekanisme pelayanan dua atap ini akan berjalan efektif dalam mendukung pembangunan desa? Apalagi, pelayanan mudah cenderung berasal dari pelayanan satu atap.
Lalu, dengan adanya pembagian kerja yang dimaksud, apakah desa dilihat secara terpisah dalam pengaturan dan pengelolaannya? Mengingat dalam dua pepres tersebut, pengaturan desa dibelah menjadi dua bagian. Pertama urusan yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat dan pembangunan desa menjadi tanggung jawab Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Sementara urusan yang terkait dengan tata kelola pemerintahan desa menjadi tanggung jawab Kementerian Dalam Negeri.
Ihwal ketidakjelasan kementerian apa yang akan sepenuhnya memegang tanggung jawab dalam urusan perdesaan berangkat dari Peraturan Presiden Nomor 165 Tahun 2014 tentang penataan tugas dan fungsi Kabinet Kerja. Dalam pasal 6, pembagian tugas pengaturan Desa secara tegas dibagi ke dua kementerian. Pertama, yang meliputi kelembagaan dan pelatihan masyarakat desa, pemberdayaan adat dan sosial budaya masyarakat desa, usaha ekonomi masyarakat desa, dan sumber daya alam dan teknologi tepat guna perdesaan dilaksanakan oleh Kementerian Dalam Negeri. Sementara penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang pembangunan daerah tertinggal dilaksanakan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
Wajar, jika dalam masa penyesuaian struktur organisasi dua kementerian tersebut, terjadi saling tarik menarik. Kemendagri tetap kukuh mempertahankan urusan pemerintahan desa berada di bawah naungannya, sementara Kementerian Desa, dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi meyakini desa sepenuhnya merupakan kewenangannya.
Tarik menarik ini bahkan sempat diwarnai dengan isu perebutan pengelolaan dana desa yang cukup besar. Meskipun keduanya langsung membantah dengan alasan, dana desa ditransfer langsung ke daerah yang kemudian akan disalurkan ke masing-masing desa.
Selain pada persoalan teknis birokrasi, seperti koordinasi pemerintahan desa ke kementerian, pembagian desa dalam dua kementerian ini sesungguhnya membelah desa. Desa sebagai tata-kelola administrasi pemerintahan, desa sebagai unit pemberdayaan masyarakat, serta desa sebagai bagian dari pengembangan kawasan negara.
Melihat hal itu, semangat undang undang desa yang melihat pembangunan desa secara menyeluruh dengan menjadikan desa sebagai subjek pembangunan diragukan kembali. Apakah pemerintah pusat betul-betul serius mendukung pembangunan desa dan adat di Indonesia?[]
Oleh Sunardi, Sekjen Komunitas ININNAWA